Hati
Yang Bocor
Aku
kenal Dina dari Twitter. Berawal dari
saling mention tweet, kami menjadi begitu dekat. Hingga kami putuskan untuk
kopi darat. Sebenarnya ia juga satu sekolah denganku. Hanya saja sekolahku
terlalu besar, jadi sulit bagiku untuk bertemu dengannya.
Aku
sendiri adalah anak seorang tukang tambal Ban di daerah Sampang. Tapi aku masih
bisa bersekolah di salah satu SMK Negeri di Surabaya.
Teman-temanku
di SMK mayoritas anak orang kaya. Minimal anak pegawai negeri lah. Hingga aku
malu untuk mengakui status orang tuaku. Aku juga malu jika gayaku kampungan.
Aku selalu ingin tampil keren dan modis di depan teman-temanku. Apalagi bisa
dibilang mukaku cukup ganteng.
Malam
minggu aku janjian dengan Dina di salah satu kafe di daerah Waru. Tak terlalu
lama menunggu, Dina tiba. Ia langsung duduk di sampingku setelah melihatku
duduk di salah satu meja di tengah ruangan.
“Udah
lama nunggunya Fa? Maaf yah, aku telat. Taxi yang aku tumpangi tadi lemot.” ucap
Dina membuka pembicaraan
“Oh
gak papa kok. Aku baru 10 menit nungguin kamu. Hmmm…. Ternyata cantikan aslinya
yah daripada yang di foto.”
“Hehe,
bisa aja kamu. Kamu kelas berapa sih? Aku kok gak pernah liat kamu di sekolah.”
“Kita
sama-sama kelas 12 kok. Cuma aku di RPL (Rekayasa
Perangkat Lunak) kelas kita jauh, makanya gak bisa ketemu.” jawabku.
”Oh,
pantesan. Hmmm… kamu asli mana?”
“Aku
orang Bangkalan. Itu, tempat besi tua. Orang-orang banyak tahu kok.”
Obrolan
kami pun mengalir. Tak terasa 2 cangkir green tea tandas kami minum. Kami
saling tanya mengenai pribadi masing-masing. SDnya dimana, kost dimana, suka
warna apa, dan masih banyak lagi.
Jam
9 Dina memutuskan untuk pulang. Aku mengantarnya dengan motor CBR yang aku pinjam dari anak tuan kostku.
Kebetulan aku akrab sekali dengannya.
Dua
bulan hubungan kami makin dekat. Hingga aku berani mengutarakan perasaanku
padanya. Ia pun menerimaku. Ya, segampang itu. Aku juga heran.
Satu
minggu aku jadian dengannya, ia mengajakku berakhir pekan di Kenjeran. Aku
menyanggupinya. Tapi masalahnya bajuku itu-itu saja. Aku ingin yang baru dan
tampil lebih baik di depan Dina. Akhirnya aku menelepon ke rumah untuk meminta
kiriman uang.
“Pak,
minggu nanti aku ada acara sekolah di Kenjeran. Aku perlu uang lebih.” pintaku.
“Loh?
Uang bulanan 2 minggu lalu udah habis cong?”
“Ya ada pak. Tapi tinggal sedikit. Ini acara sekolah, makanya aku perlu.” tambahku.
“Ya
udah cong, paling lambat hari sabtu
bapak kirim ke ATMmu. Kalo sekarang belum ada. Adikmu masih perlu buat bayar
SPP.”
“Waduh
pak. Aku nanti telat yang mau beli bahan praktikum.”
“Sekarang
bapak masih belum ada cong. Ya udah
gini aja, jum’at insya Allah bapak kirim.”
“Ya
udah lah pak. Aku tunggu Jum’at.”
Sempat
terlintas rasa bersalah di benakku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku takut pacarku,
bahkan teman-temanku menjauh jika penampilanku tidak gaul.
Minggu
pun tiba. Aku dikirimi uang oleh bapak pada hari jum’at. Tapi pada malam
harinya, jadi capek nunggu dari pagi ngecek ATM. Walau hanya dua ratus ribu,
cukuplah untuk membeli baju di distro.
Aku
berangkat ke Kenjeran memakai motor CBR anak tuan kostku lagi. Dina sebelumnya
menelepon dan menawarkan untuk mebawa mobil jazznya. Tapi aku menolak, agar aku
terlihat gentle.
Seperti
umumnya muda-mudi baru jadian, kami bersuka ria di sana. Kami disana sampai
sore hari. Hampir maghrib baru kami pulang.
Ketika
kami tiba di pagar rumahnya, ia berkata bahwa ia bahagia sekali hari ini. Ia
juga ingin berakhir pekan lagi denganku, tapi di tempat yang berbeda. Aku hanya
mengangguk disertai dengan senyuman. Dan satu yang mebuat hatiku berdebar-debar
dan bahagia. Ia memberikan sun jauh di pipi kananku. Kemudian ia langsung
berlalu masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya bisa bengong, itu yang pertama
bagiku.
Aku
pun kembali ke kosan dengan hati berbunga-bunga. Yah, itu untuk pertama kalinya.
Bahkan aku sulit tidur gara-gara kejadian tadi sore. Begitu indah tak terperi.
.........
Aku
jatuh sakit. Mungkin kurang istirahat. Aku putuskan untuk pulang ke Sampang.
Sebelumnya aku sudah bilang pada Dina bahwa aku tidak bisa berakhir pekan
dengannya minggu ini. Ia tanya kenapa. Aku jawab banyak tugas. Ia menerima. Aku
juga ijin ke sekolah dua hari, jum’at dan sabtu. Jadi aku bisa sekalian liburan
di rumah.
Tiba
di rumah, aku disambut dengan wajah cemas bapak dan ibu, karena sebelumnya aku
sudah memberi kabar pada mereka. Mereka pun merawatku dengan penuh perhatian
sehingga aku bisa sembuh dengan cepat. Hari sabtu kondisiku telah pulih. Aku
pun membantu bapak bekerja walau hanya sedikit.
Minggu
pagi aku mendengar kabar dari ibu bahwa ada kecelakaan tadi subuh di desa
sebelah. Ibu menanak nasi dan aku membetulkan posisi kayu bakar, aku dan ibu
bercakap-cakap. Tiba-tiba bapak masuk.
“Cong bawakan air satu ember. Di depan
ada mobil bannya bocor. Mungkin gara-gara pecahan kaca mobil yang kecelakaan
tadi subuh.”
“Aku
masih repot nih pak.”
“Sebentar
saja cong. Ini bapak mau ngambil
kompor.” Aku mengangguk. Bapakku kembali ke bengkel sambil membawa kompor untuk
menambal ban.
Tanganku
kotor oleh arang kayu bakar tadi. Wajahku juga kusam karena berada di depan
tungku. Maklumlah orang susah, pakai kayu bakar.
Ketika
aku keluar membawa ember, aku melihat dua cowok dan tiga cewek dari kejauhan.
Kutafsir mereka adalah penumpang mobil yang bannya bocor. Aku jongkok
memberikan ember pada bapak. Bapak juga bilang ternyata mereka adalah penumpang
mobil yang mau jalan-jalan ke pantai Camplong.
Aku
pun berdiri ingin masuk ke rumah lagi. Tiba-tiba salah satu dari cewek tadi
mendekat.
“Masih
lama mas?” suaranya tak asing bagiku.
Ternyata
ia Dina. Aku kaget dan Dina kaget melihatku dan tampangku. Sejenak ia tertegun,
kemudian tampaklah dari wajahnya ekspresi kesal dan marah. Terlontarlah
kata-kata yang tak pernah kubayangkan darinya.
“Dasar
kampung! Jadi kamu bohongin aku selama ini. Kamu bilang, kamu anak bos besi
tua. Eh ternyata cuma anak tukang tambal ban. Aku gak percaya lagi sama kamu.
Kita putus!”
Kalimat
itu ia ucapkan di depan bapakku. Seketika aku diam. Tak kuasa kumenahan amarah,
malu, dan sesal yang bercampur.
Aku
marah karena ia mengucapkan itu di depan bapak. Aku malu karena ia
mempermalukan aku di depan bapak. Bapakku nanar menatapku, matanya merah
menahan amarah. Dina telah pergi bersama teman-temannya. Aku hanya bisa
tertegun dan menunduk.
Tiba-tiba
flashback masa kecilku berhamburan di benakku. Aku ternyata gengsi mengaku pada
teman-temanku tentang bapak. Bapak yang dengan ikhlas mengayuh sepeda sejauh
dua kilometer hanya untuk mengantarku ke SD. Bapak yang rela bangun tengah
malam untuk mengantarkanku ke kamar kecil karena aku takut. Bapakku yang rela
diterpa asap knalpot, rela tangannya berlumpur oli, rela terlentang di bawah
mobil, rela berpanas-panas di samping jalan protokol hanya demi aku, ya, hanya
demi aku, demi pendidikanku.
Seketika
aku sadar, aku tetaplah anak bapakku, anak tukang tambal ban, tak akan berubah.
Bapakku berlalu ke dalam rumah. Kulihat sekilas, ada sedikit genangan air mata
di ujung pelupuk matanya. Hatiku ngilu, aku telah menyakiti hatinya.
By:
@anshorif