Perspektif Kepemimpinan Dalam Islam
Di dalam konsep Islam, pemimpin
merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi
dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat
kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam
pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin
akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan
kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah.
Dalam tatanan masyarakat Islami,
pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya.
Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan
cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah,
maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan
sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak
kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan
nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan
keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, tatanan jama'ah akan mengalami
kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran.
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan
memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada
dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur yaitu masyarakat Islami yang dalam
sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya
kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama'ah atau kelompok, sampai-sampai
Rasulullah bersabda yang maksudnya:"Apabila kamu mengadakan perjalanan
secara berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin
perjalanan)."
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam
(Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat
muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para
shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga
jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para
shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti
Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di
kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai
khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.
Beberapa komponen yang
menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami, yaitu :
·
Adanya wilayah teritorial yang kondusif
(al-bi'ah, al-quro),
·
Adanya umat (al-ummah)
·
Adanya syari'at atau aturan (asy-syari'ah)
·
Adanya pemimpin (al-imamah, amirul ummah)
Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam
upaya kebangkitan umat. Islam yang telah dikenal memiliki minhajul hayat
(konsep hidup) paling teratur dan sempurna dibandingkan konsep-konsep buatan
dan olahan hasil rekayasa dan imajinasi otak manusia, telah menunjukkan
nilainya yang universal dan dinamis dalam penyatuan seluruh komponen umat.
Empat pilar kebangkitan
umat, kesemuanya saling menopang dan melengkapi, yaitu :
·
Keadilan para pemimpin (umaro)
·
Ilmunya para ‘ulama
·
Kedermawanan para aghniya (orang kaya)
·
Do'anya orang-orang faqir (miskin)
Beberapa
istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, yaitu:
·
Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin
negara (pemerintah)
·
Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir)
ummat
·
Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau
pimpinan kelompok
·
Al-Mas'uliyah yang bermakna penanggung
jawab
·
Khadimul ummah yang bermakna pelayan ummat
Dari beberapa istilah diatas, dapat disimpulkan
bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi
permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada
urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat
dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya, bukan
sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi sumber
daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi dan kaum kerabatnya
atau kelompoknya.
Kriteria dalam
Menentukan Pemimpin
Beberapa faktor yang menjadi
kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut
adalah antara lain:
a. Faktor
Keulamaan
Dalam QS. Fathir:28, Allah menerangkan bahwa diantara
hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan
bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan
selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an).
Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.
Berdasarkan QS.Al Hujarat:1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah
atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam
pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan
Al-Hadits.
Berdasarkan QS. Al Ankabut: 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria
ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia
selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran
ilmu.
b. Faktor
Intelektual (Kecerdasan)
Seorang calon pemimpin
haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun
intelektual (IQ). Dalam hadits Rasulullah
melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda: "Orang yang pintar
adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah
mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa
nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan". (HR. Bukhari, Muslim,
Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung
isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan
emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil
sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits,
daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek
dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.
Berdasarkan QS.
Annis’:58, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk
memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas
(kafa'ah) yang dimiliki
Rasulullah SAW. berpesan:"Barangsiapa
menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancurannya."
c. Faktor
Kepeloporan
Berdasarkan QS.Az-Zumar:12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki
sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan
perintah Islam.
Berdasarkan QS.Al
An’am:135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep
dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter
sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga
pandai bekerja.
Berdasarkan QS.Al An’am:162-163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang
tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya,
adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan
selalu berupaya untuk mencari ridho Allah.
Berdasarkan QS.Ali
Imran:110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka seorang pemimpin
haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan
yang mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.
d. Faktor
Keteladanan
Seorang calon pemimpin
haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal
ibadah, akhlaq, dsb. Berdasarkan QS.Al Ahzab:21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan
Rasulullah sebagai suri teladan bagi dirinya.
Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia
mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.
Berdasarkan QS.Al
Qalam:4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia
(akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan
dalam kehidupan sosial masyarakat.
Faktor akhlaq adalah
masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki
kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui
akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan
kehancuran.
e. Faktor
Manajerial (Management)
Berdasarkan QS.As Shaff:4, maka seorang pemimpin haruslah memahami
ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen
kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
Seorang pemimpin harus
mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya
(tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota,
pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya. Dengan kemampuan ini,
maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang
kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan. Oleh karena itu, mari
kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun
akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab
terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya.
Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan
kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab
Semoga kita semua kelak
menjadi pemimpin yang adil dan diridhoi oleh Allah SWT.
By: M. Rofi’i_PBA IV STAI Syaichona
Moh. Cholil