Ultahku di Hari Valentine
Di pagi hari yang begitu gelapnya dengan langit tertutupi awan
mendurng membuat para santri putri tidak bersemangat mengikuti kegiatan.
Sebagai ketua kelas di kelas VA IBT kubuka kembali pelajaran yang telah di
pelajari tadi malam bersama teman-teman.
Kira-kira aku dapat apa nanti ya putri?” kata zia yang lagi ilfil
kepadaku “ hus. Kita kan sudah mengadakan perjanjian dengan bunyai. Bagi siapa
yang merayakan hari valentine maka ia akan dihukum, kamu mau rambut kamu
dibotakin?” padaku kepada zia.
“kita kan bisa secara sembunyi-sembunyi “ kata zia
“ Aduh zia. Udah deh, sehebat-hebatnya orang melakukan kehajatan
pasti bakal ketahuan juga, dan aku tidak mau terjadi apa-apa pada sahabatQ”
PaksaQ pada zia. Ziapun hanya cengengesan. Zia memang orangnya suka ngotot dan
keras kepala, tapi dia jug baik. Tidak lama kemudian kututup kembali kitabku
karna waktu jam sekolah telah tiba dan aku bangunkan teman asramaku yang sedang
tidur. Bagi santri Darul Falah tidur adalah menjadi kegiatan wajib sendiri.
Di kelas anak-anak banyak yang membicarakan masalah valentine yang
memang tidak diperbolehkan di kalangan ummat islam. Tetapi masih saja banyak
santri yang melanggar, sepulang sekolah banyak santri putri yang dipanggil oleh
santri putra. Tapi hanya di luar saja,
untuk sementara ini santri putra manapun tidak diperbolehkan memasuki area
santri putri, apabila mendapatkan hadiah maka langsung di rampas oleh pengurus
serta mendapatkan hukuman.
Pada saat itu Fauzia sedang berada dikamar mandi dipanggil oleh
kakaknya. Maka akulah yang menemuinya dan kebetulan aku sudah kenal dengan kak
Saiful “ maaf kalau kak Saiful menunggu lama “ kataku setelah di hadapan kak
Saiful.
Fauzia mana put? “ kata kak Saiful kepadaQ
Fauzia lagi dikamar mandi
kak, sebentar lagi dia sudah selesai kok. “Saya nitip ini aja buat Fauzia soalnya saya masih ada urusan
“ Kata kak saiful sambil mengulurkan sebuah amplop.
Akupun hanya terdiam menatap cowok di sebelah kak Saiful yang
begitu cakepnya.
“Fauzia “ kata kak Saiful dengan suara agak lantang “ eh. Ia kak “ jawabku yang agak gugup. Sedangkan cowok di sebelah kak Saiful
itu hanay tersenyum. Tidak lama kemudian Kak Saiful pergi, dan tak henti-hentinya
aku menatap langkah si cowok itu pergi hingga menghilang dari penglihatanku
dengan gembira aku kembali ke asrama dan memberi tahu Fauzia. Sesampai di
asrama tak henti-hentinya aku mengingat si cowok itu sehingga aku tersenyum
sendirian “ Putri kenapa lho? Senyam senyum sendirian kata Fauzia
“ Tau Gak, tadi di bawah aku bicara dari hati ke hati dengan teman
kakak kamu” siapa?” ga tau pokoknya orangnya cakep putih dan lebih cakep dari
kakak kamu”
“ O… itu Azis namanya sepupu que. Memang orangnya cakep banyak
cewek-cewek cantik yang suka ma Azis, tapi Azisnya cuek aja. Malah dia bilang
ga ada yang cocok “ jelas Fauzia padaku.
“Putri-putri “ panggil salah satu temanku
Ia ada apa ayu?” kamu dipanggil ustadzah maimuna. Kayaknya dia
sedang marah” tutur ayu padaku. Rasa bahagiapun tiba-tiba berubah menjadi
kesusahan. Berat rasanya kaki melangkah ke hadapan ustadzah Maimuna yang memang
terkenal pengurus yang paling kejam di PPDF. Sepertinya aku tidak melakukan
kesalahan “ pikirku keringatku jatuh membasahi sekujur tubuhku.
“Assalmualaikum” kataku setelah sampai di depan kantor. “waalaikum
salam” jawab ustdz maimuna yang menghadapkan mukanya kedepan tembok
(membelakangiku) dan tiba-tiba dia langsung membalikkan tubunya menghadapku
“Plak” ustadz Maimuna memukul bangku dengan keras. Seolah menggetarkan ruangan itu.
Aku hanya menunduk dan mengalirkan air mataku dengan deras dan bartanya-tanya
pada diriku sendiri yang tak berani menanyakan langsung pada ustadz Maimuna.
Beberapa perkataan dan ancaman yang keluar dari mulut ustadz
Maimuna jika dalam tempo 2 hari aku tidak menemukan bukti, maka terpaksa dia
menghukumkum.
Ustadz” kataku dengan gemetar. “diam. Sudah banyak teman-teman kamu
melaporkan, bahwa kamu seri ketemuan dengan santri putra. “Jelas ustadz
Maimuna. Akupun tidak mengerti maksudnya apa.
Ustadz” kataku lagi, aku sudah tidak percaya lagi omongan kamu,
karna bukti ini sudah kuat bahwa kamu mendapatkan ini dari santri putri.” Kata
ustadz sambil menunjukkan kado yang berwarna biru dan dilingkari dengan sebuah
pita. “sekarang kamu keluar dan ingat 2 hari lagi” akupun keluar dengan
diiringi air mata yang selalu membasahi pipiku.
Dan aku tidak mau semua orang menganggapk orang yang munafik. Dan
aku langsung menangis kepada sahabatku. “Fauzia, kamu percayakan sama aku?
Kalau aku tidak pernah melakukan hal itu, dan tolong bantu untuk cari bukti,
bahwa aku tidak pernah melakukan hal itu.”
“Putri aku tidak menyangka sama kamu ternyata aku salah menuai
kamu” kata Fauzia yang tiba-tiba berubah 100% padaku. Akupun semakin menangis,
kenapa semua orang tiba-tiba berubah membenciku. Dan aku hanya bisa menangis
dan menangis. Siang malampun aku berdoa kepada Allah SWT supaya terbukti bahwa diriku tidak bersalah.
Hari begitu cepat berganti, sehingga kini telah sampailah pada hari
yang ditunggu-tunggu oleh ustadz Maimuna. Di depan anak-anak ustadz memarahiku
“ putri aku tidak membutuhkan tangisanmu, aku hanya membutuhkan bukti bukti
dari kamu” kata ustadz Maimuna dengan kejam dan kini saatnya semua pengurus
menggundul rambutku. Aku hanya bisa pasrah. Dengar tiba-tiba musholla menjadi
gelap akupun semakin ketakutan dan dengan tiba-tiba mushollah terang kembali
dan ruangan itu sangat indah dan semua teman-temanku mengucapkan HAPPY BIRTHDAY
dengan membawakan sebuah kotak berwarna blue kini tangis kesedihanku berubah
menjadi keharuan dan Fauziapun langsung memelukku “Happy Birthday” ucapnya
padaku. Untuk teman-teman dan para pengurusku ku ucapkan terima kasih karna
kalian telah peduli padaku” dan akupun
langsung memeluk ustadzQ satu-persatu”Putri ini hadiah dari Aziz”
“Azis? “ kataku sambil mengernyitkan dahi
“Buka-buaka” suara teman-temanku dengan kompak. Dan akupun langsung
membuka dan di dalamnya terdapat sebuah kertas dengan tulisan yang sangat besar
“HAPPY BIRTHDAY PUTRI KE 18”. Dan sebuah kata yang tidak Que sangka
“ I Love You Putri” dan kini kebahagiaanku jauh lebih besar dari kesedihanku
kemaren.
By:
Arhabunnajwa
Putri Maghfi