![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4hZ7UtAFN45zPgcBDH6l6MPPYuLl7AnMzPxye1GcyDCIfU0hyyOvx8lwOd5iVI09nYUjNwuPKIRhsFQhtJxspk19XzOFFVItdFZmQ3c6r-xOUEcaonziquGVxbt3ypNsmtGlgB2zbb33k/s320/Percobaan_Jatuh_Bebas_03_by_Chrono_Shr1mp.jpg)
Redaksi – Rabu, 1 Muharram 1437 H / 14 Oktober 2015 06:00 WIB
Eramuslim.com – Insiden dibakarnya bangunan yang
selama ini dijadikan gereja tanpa izin, alias gereja ilegal, di Singkil, Aceh,
dianggap sebagai ekses tidak ditepatinya perjanjian masyarakat setempat yang
sudah dilakukan sejak tahun 1979 dan tidak tegasnya aparat keamanan di sana.
Insiden yang terjadi di Desa Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh
Singkil, disebabkan masyarakat marah karena umat Kristen di sana menjadikan
banyak bangunan sebagai gereja, padahal semua itu menyalahi izin yang berlaku.
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar
Simanjuntak mengatakan, bentrok antar warga yang terjadi di Singkil disebabkan
tidak ada penegakkan hukum yang tegas sejak awal. “Kalau waktu itu rumah ibadah
yang tak berizin ditertibkan, maka bentrok massa seperti ini tak akan terjadi,”
katanya (13/10).
Ketidaktegasan aparat penegak hukum, kepolisian, pemda
setempat, terang Dahnil, merupakan penyebab terjadinya insiden ini. “Saya yakin
kalau penegak hukum dan pemda sejak awal tegas terhadap rumah ibadah tak
berizin, maka tindakan anarkis tak akan terjadi.” Pencegahan, ujar dia, sejak
awal tidak dilakukan. Maka inilah yang terjadi. “Sepengetahuan saya, warga Aceh
itu mempunyai toleransi yang tinggi. Kalau sampai itu terjadi, ini semua karena
tidak tegasnya aparat sejak awal,” katanya.
Andai umat Kristen di Singkil mentaati perjanjian dan aparat penegak hukum
di sana sungguh-sungguh bekerja sesuai aturan dan kewajibannya, maka insiden di
Singkil kemarin tidak akan perlu terjadi.