Beberapa
tahun belakangan banyak sekali masalah-masalah yang muncul di negara kita,
mulai dari korupsi, human trafficking, perampokan, teroris, mutilasi,
pemerkosaan, narkoba, pengangguran, kemiskinan dan lain sebagainya. Jika boleh
dikatakan inilah ruang dimana pancasila dibangkrutkan oleh ulah para pemimpin,
generasi muda dan nyaris seluruh lapisan masyarakat yang mengalami “demam”
demoralisasi. Ini adalah peristiwa yang mengerikan, yang sepatutnya menjadi perhatian
khusus semua kalangan.
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia, demoralisasi memiliki artian kemerosotan
akhlak, kerusakan moral. Dilihat dari arti katanya saja, sudah cukup
memprihatinkan bukan? Akhlak dan moral adalah dasar manusia bertindak, dan apa
yang terjadi jika itu tidak dipertahankan? kurang lebih seperti keadaan bangsa
kita sekarang ini. Kehebohan terjadi di mana-mana, berita buruk yang selalu
muncul di berita televisi, Koran maupun radio. Sila pertama Pancasila yang
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang secara implisit maupun eksplisit
merupakan wujud dari spiritualitas kebangsaan
kita, seakan seperti dihianati oleh bangsa kita sendiri, padahal sudah
jelas Sila pertama adalah payung keseragaman umat Indonesia.Yang menyatukan
seluruh perbedaan dalam satu integritas. Namun yang terjadi adalah kebodohan,
saling caplok-mencaplok antar individu, golongan, kelompok maupun antar bendera
dan antar seragam. Hal tersebut terjadi akibat dampak dari gempuran
globalisasi, konstruksi global yang kuat, perilaku amoral yang di impor dari
luar bangsa Indonesia serta pasifnya budaya local.
Peristiwa
semacam ini akan terus terjadi dan sulit dikendalikan, seakan kehadirannya
seperti jamur di musim hujan yang terus beranak-pinak setiap harinya.
Permasalahan bangsa kita sudah terlalu kompleks, perlu dilakukan perubahan dan
perbaikan secara serentak dan menyeluruh, bila memang ingin benar-benar
menyembuhkan bangsa ini dari bahaya laten demoralisasi, mengingat
perilaku demoralisasi tidak hanya menimpa negarawan golongan tua, tetapi juga
golongan muda, serta seluruh lapisan masyarakat tua, muda, dari golongan atas
hingga bawah. Dan pada akhirnya jika masalah serius ini hanya
dibiarkan begitu saja kita akan tiba pada waktunya dimana system ketatanegaraan
kita berada dipersimpangan jalan, dimana para negarawan labil telah
memfasilitasi kebangkrutan pancasila dan spiritual kebangsaan.
Banyak
produk-produk politik hasil dari demokrasi transaksional yang tidak berpihak
pada rakyat. Kemudian kita tidak bisa menahan laju demoralisasi, dan ternyata
ada yang salah dengan keimanan para negarawan kita, mereka tidak memiliki
kearifan yang sebagaimana diharapkan pancasila. Kemudian, konstruksi global
yang kuat yang beraroma life style, sebut saja alat komunikasi yang
semakin canggih mampu menembus dinding rumah-rumah orang tua yang memiliki
anak. Alat komunikasi yang canggih seakan menegaskan misi kebudayaan global
yang siap menggempur budaya bangsa kita yang memiliki etik.
Melemahnya
Control Social masyarakat akibat benturan realitas pola hidup masyarakat
yang bergeser, sikap hidup masyarakat
yang konsumtif dan individualis mampu menciptakan jarak social. Perilaku
demoralisasi pada generasi muda tidak dapat dicegah bersamaan dengan lajunya
globalisasi. Sebetulnya globalisasi itu sendiri merupakan fitrah kebudayaan
dalam memenuhi kebutuhan umat manusia, namun yang terjadi pada generasi muda
saat ini adalah keparadoks-an.Yang mana alat komunikasi yang canggih seharusnya
dijadikan alat komunikasi antarpersonal justru mengalami disfungsi, sehingga
banyak sekali dimuat dan ditampilkan pada berita para pemakai alat komunikasi
labil (remaja) mempromosikan dirinya sendiri (menjual diri) maupun
teman-temannya melalui jejaring social media, dan bertransaksi melalui sms,
telfon, maupun media lain.
Kemudian
kendaraan yang seharusnya menghubungkan tempat satu dengan tempat lain juga
disalah gunakan. Kecanggihan-kecanggilah teknologi tidak digunakan dengan
semestinya, justru mengarah pada hedonism. Adanya modernisasi dalam budaya
menggoncang jati diri para remaja yang tidak siap dengan perubahan, mereka
tidak mengimbanginya dengan moral yang kuat, sehingga demoralisasi secara masal
menimpa para remaja Indonesia. Krisis etika yang terjadi pada generasi muda
menjadi cikal bakal perilaku-perilaku menyimpang. Mempertebal keimanan dan
ketaqwaan mampu menjauhkan diri dari demoralisasi, mata hati akan menjadi lebih
terbuka sehingga mampu memahami mana yang baik dan benar, serta senantiasa
bertindak mengarah pada hal positif.
Peran
keluarga, sekolah serta komunitas remaja sebenarnya adalah ruang yang tepat
untuk penanaman nilai, sosialisasi yang baik mampu mengisi otak para remaja
dengan hal-hal yang positif, menjaukan dari perilaku amoral. Masyarakat juga
harus menghidupkan kembali kearifan local sebagai control social, yang perlu
diingat adalah bahwa budaya tidak pernah stagnan, dia senantiasa tumbuh dinamis
seiring perkembangan jaman, hari ini berondongan budaya asing dan gempuran
pasar global lebih ekspansif dibanding control social bangsa kita, maka kita semua
seluruh lapisan masyarakat wajib kiranya menghidupkan kembali kearifan local
sebagai penyeimbang. Tentunya kita tidak mau bukan bangsa kita dicederai
keindonesiaannya gara-gara kotoran peradaban bangsa yang kusebut “demoralisasi”
di atas.
By: Farizul
El-kharomi / Red