“Teet...teet...teet”.
Suara bel sekolah menggema di setiap koridor. Perlahan gema bel itu
tergantikan oleh suara celoteh anak-anak dan gemeletuk sepatu. Aku berbaur di
antara anak-anak berseragam putih merah ini, di ujung sana terlihat ayah berdiri,
menjemputku.
Lima menit kemudian aku sudah berada di dalam mobil, untuk pulang.
Di tengah perjalanan, aku melihat temanku riang senang dijemput ibunya, meminta
mainan atau makanan. Ibunya menggeleng, merajuk, mau tak mau ibunya membelikan,
lalu memeluk dan menciumnya. Aku yang melihat hal itu sungguh iri, aku ingin
seperti itu, sangat ingin malah. Tapi itu tidak akan pernah bisa karena ibuku
sudah pergi saat melahirkanku. Aku hanya tahu wajah beliau lewat foto-foto yang
terpajang di dinding rumah di kamar ayah. Foto ibu dan ayah waktu menikah dan
bulan madu, dan foto-foto lainnya yang aku tidak tahu.
“Yah, Lia kangen ibu?”. Aku yang tadi diam mulai berbicara,
terbata-bata.
Ayah menoleh mengusap air mataku lantas kemudian mencium keningku.
“Ayah tahu Lia, mungkin ibu juga kangen sama Lia sekarang. Jadi
jangan sedih ya, nanti ibu juga ikut sedih”. Ucap ayah padaku, bisa kurasakan ada
nada-nada sedih ayah saat berbicara tentang ibu.
Lima belas menit kemudian kami sudah tiba di rumah. Ayah sudah
berangkat lagi. Ada urusan yang harus diselesaikan, kata ayah. Aku melangkah
gontai menaiki anak tangga, menuju kamarku. Tapi saat aku melewati kamar ayah,
ada sebuah buku di sana. Juga foto-foto ibu. Aku naik ke atas kasur dan
mengambil buku itu. “Buku diary ayah” pikirku. Pelan aku buka buku diary itu.
Terpampang jelas tulisan ayah di sana.
Perlahan dan lirih aku membacanya.
******
Mei, 2003.
Kereta melaju pelan, membelah rel. Aku duduk di pojok jendela
menatap keluar, tak lama kemudian “Permisi?” suara seorang perempuan menyapa.
Aku menoleh dan mataku terbelalak, di depanku berdiri seorang perempuan
berkerudung, tersenyum menyapa. Lalu dia duduk di depanku, aku dari tadi hanya
melongo. Tersenyum malu-malu, aku keluarkan buku diaryku lalu aku menulis
ceritaku hari ini.
“criit...criit...”.
Bunyi gesekan rel dengan kereta terdengar, pertanda akan berhenti.
Aku melangkah keluar. Hari sudah sore, aku melangkah keluar stasiun. Melangkah
sambil mengadu nasib di kota ini. tiba-tiba ”tolong... tolong” terdengar suara
teriakan. Aku bergegas melangkah ke arah sumber suara. Kulihat di sana ada dua
pemuda sedang mengerubungi satu wanita, tanpa pikir panjang kulayangkan
tendangan ke salah satu pemuda ”bugh”bunyi benturan, pemuda itu jatuh
tersungkur, pemuda satunya kalap langsung meraih pisau belatinya. Lantas
menyerang seperti orang kesetanan, aku hanya refleks langsung menghindar, tapi
sayang tanganku terkena sabetan belati, darah mengucur memerahkan separuh
tanganku
“Ha... ha... ha... sok jaguan!”. Ejek pemuda tersebut. Dalam
hitungan detik seseorang memukul pemuda itu dari belakang dengan sebilah kayu, aku
yang melihat pemuda itu lengah, langsung melayangkan satu tendangan telak
sehingga membuat pemuda itu terjungkang dan lari tunggang langgang sambil
menahan rasa sakitnya. Aku memegangi tanganku yang terkena sabitan pisau.
Tiba-tiba satu tangan memegang lembut tanganku. Kutengadahkan pandanganku. Dan
mataku terbelalak ternyata yang minta tolong perempuan tadi. Aku tidak begitu memperhatikannya,
dengan lembut dia mengobati tanganku dan memerbannya.
“Terima kasih”. lirih perempuan itu.
“Eh... tidak apa-apa kok?”. Jawabku sokso’an. Sebenarnya aku ingin
menanyakan namanya tapi...
“Namaku Rina”. Ucapnya seakan tahu kebingunganku.
“Hemz... nah udah selesai”. Ucap Rina setelah memerbanku.
“Oh ya kamu siapa?”. Tanyanya lagi.
“Aku Irul, hemz makasih ya. Oh ya mau kuantar pulang karena melihat
hari sudah malam?”. Tanyaku memberanikan diri meski gugup.
Dia hanya diam sambil membersihkan tangannya.
“Hemz, ayolah kalau mau ngatar!”. Jawabnya spontan tapi masih
tertunduk.
Dan saat matahari sempurna tenggelam aku sampai di rumahnya, lebih
tepatnya di panti asuhannya. Dia bercerita bahwa dia hidup di panti ini tanpa
sepengetahuan orang tuannya, jadi sebisa mungkin dia membuat bangga panti
asuhan itu. Kulihat matanya berkaca-kaca, aku refleks mendekapnya membiarkan
dia menangis di pangkuanku dan mulai saat itu aku berikrar janji tak tertulis
itu, janji bahwa aku akan menjaganya saat ini dan selamanya.
Agustus 2003
Hari berputar bak roda kereta kuda, aku sudah mempunyai pekerjaan,
yaitu menjadi staf kantor. Hari-hari menganggurku telah usai, saatnya
bekerja!!! Kehidupanku berjalan sempurna. Pasalnya, aku dan Rina sudah mulai
dekat, jalan-jalan bareng, makan bareng, bahkan melihat sunset pun bareng.
Hingga timbul pemikiran itu. Pemikiran yang membuatku tersenyum malu-malu dan
dia sudah nyaman denganku (mungkin!!).
Januari 2004
“Will you married me?”. Kata itulah yang meluncur saat aku
meminangnya di pantai tempat kami melihat sunrise. Aku memegang cincin,
sedangkan ia mengusap air matanya yang berjatuhan. Perlahan ia mengangguk, dan
seminggu setelah itu aku merayakan pernikahanku dengannya di rumah panti asuhan.
Banyak yang menangis di sana, utamanya para adik-adik angkat Rina, aku terharu
melihatnya.
“Aku mencintaimu istriku”. Bisikku di telinganya.
“Aku juga mencintamu suamiku”. Katanya sambil memelukku, membuat
seisi panti tersenyum malu-malu. Setelah itu aku memboyongnya ke rumah yang aku
beli setelah kenaikan pangkatku, rumah di pinggir pantai kesenangannya.
Maret 2004
Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku, karna dua
hal. Pertama: aku dipromosikan menjadi manager kantorku. Kedua: Rina istriku
hamil, tadi pagi dia mual-mual, setelah tes ternyata ia positif hamil, betapa
senangnya aku. Aku lebih memusatkan perhatianku pada istriku yang sedang hamil.
Pernah aku berkata padanya, sebuah kata yang tak kupahami. Dia malah berkata.
“Tak usah suamiku, aku tak butuh semua itu. Bagiku kau ridho dengan
apa yang aku lakukan padamu itu sudah cukup”.
Aku hanya menjawab dengan mencubit pipinya. Dan mencium keningnya
sebagai balasannya. Dia tersenyum dan mencubitku.
November 2004
Waktu itu aku pulang dari kantor hampir pukul tujuh malam. Aku
lihat seisi rumah sepi, aku memanggil istriku tapi tak menjawab, sampai tiga
kali tetap tidak menjawab. Aku panik mulai mencari istriku dan betapa
terkejutnya aku, ketika aku melihat istriku terjatuh di dapur. Darah mengucur
di kakinya, aku pun kalap langsung membawanya ke rumah sakit, aku berteriak
memanggil dokter bagaikan orang kesetanan, setelah itu aku terus menunggu
sambil mondar- mandir tidak karuan, aku berpikir kalau mungkin saja kalau tidak
ada rapat yang membosankan itu. Aku sudah pulang lebih cepat dan urusan ceritanya
bisa lain nanti. Perlahan dokter keluar.
”Alhamdulillah, bayinya selamat tapi ibunya kekurangan banyak
darah, Sebentar dia harus istirahat dulu”. Ucap dokter itu
“Ambil darahku dok sebanyak-banyaknya”. Kataku pada dokter itu.
“Oke ikut saya..!”. Perintah dokter, aku pun ikut ke ruang itu dan
dokter itu mengambil darahku, kira-kira dua kantong. Dan selepas itu aku menghampiri
istriku yang terbaring lemah, dan bayi itu berada tepat di sampingnya.
“Mas Irul, lihat anak kita,
dia mirip sekali denganmu?”. Ucapnya lemah. Aku terharu menyaksikan itu, bayi pun
ku raih dan ku gendong.
“Tapi semoga saja tak sebandel ayahnya”. Kataku, Rina pun sedikit
tersenyum, sedikit kemudian dia menangis dan nafasnya mulai tersenggal-senggal.
“Tolong jaga anak ini mas, buat ia sholehah, suamiku!”. Pintanya
padaku dan nafasnya tersenggal-senggal. Air mataku merembes. Aku memanggil
semua dokter. Berteriak memanggil. Tapi istriku memegang tanganku.
“Mas Irul, apa.. apakah..kau..kau ridho padaku?”. Tanyanya dengan
nafas yang masih satu dua.
“Tidak istriku jangan kau tinggalkan aku, jangan!”. Aku menggenggam
tangannya erat sekali.
“Jawablah.. su.. suamiku ..apakah ka..ka..kau ridho padaku..?”. Tanyanya
lagi suaranya makin melemah, matanya sayu menatapku, aku mengangguk pelan.
Dan anggukan itu mahal sekali, anggukan itu mengantarkannya pada akhir
hidupnya. Meninggalkan aku dan bayi (perempuan) yang menangis itu. Untuk
terakhir kali aku mencium kening istriku, air mataku jatuh di pipinya. Dan itu
sempurna adalah ciuman terakhir ku. Terakhir dan selamanya.
******
Air mataku jatuh di lembar-lembar diary ayah. Seperti inikah kisah
ayah?. Ternyata ayah lebih kehilangan daripada aku.
“Crit...crit...”.
Pintu berdecit, aku kaget karena di situ ada sosok ayah yang
berdiri di ambang pintu, tanpa pikir panjang aku berlari memeluknya sambil
menangis haru.
“Maafkan aku ayah, aku tidak tahu kalau ayah lebih merasa
kehilangan ibu”. Ucapku terbata-bata.
“Tidak apa-apa Lia, lambat laun kamu pasti tahu kok”. Kata ayah
menyambut pelukanku
“Kenapa ayah tidak mencari pengganti ibu yah?”. Tanyaku pada ayah,
polos.
“Bagiku hidup itu satu kali, begitu pun cinta juga satu kali. Aku
sudah berjanji pada ibumu dan aku tidak akan pernah mengingkarinya”. Kata ayah
padaku.
“Lagi pula aku masih punya kamu Lia. Ketika aku melihatmu, aku bisa
melihat diri ibumu”. Lanjut ayah sambil mencium keningku. Aku menangis terharu,
baru aku tahu bahwa ayahku adalah ayah yang sangat setia pada ibu.
“Lia sayang ayah!”. Kataku sambil menghamburkan badanku pada ayah,
memeluk erat.
“Ayah juga sayang kamu Lia”. Bisik ayah sambil mendekapku, memberi
kasih sayang seorang ibu dan ayah.
(Karena cinta bukan memandang fisik, masa lalu, dan harta. Tapi
dari kesediaan hati untuk menerima dan selalu bersamanya suka maupun duka.
Jamaluddin al-Rumi)
By: Airul Leexus “Jomblo Fisabi Lillah”
Diposting Oleh: Faisol Koroni
Pimred Aschal 2017-2018
![]() |
Faisol Koroni |