Pada
9 April 2014 rakyat Indonesia akan mengadakan pemilihan legislatif (pileg).
Tujuannya, memilih para wakil rakyat (pemimpin) yang akan duduk di kursi DPR,
baik pusat maupun daerah. Dengan segala pertimbangan, tentu, rakyat telah
memberikan hak politik dan mempercayakan amanah kepemimpinan kepada para
pemimpin generasi 2014. Sebab di tangan kekuasaan merekalah rakyat menggantungkan
asa dan cita-cita.
Memang,
suatu negara bisa menjadi negara maju bergantung pada para pemimpinnya.
Jika para pemimpinnya berjiwa korup dan bermental busuk, maka negara tersebut
akan menghadapi ketidakpastian, “Bangkit”
tidak, “Maju”
apalagi. Sebaliknya, apabila para pemimpinnya berjiwa non-korup dan bermoral,
rakyatnya akan merasakan kesejahteraan dan kedamaian hidup. Contohnya, Denmark
dan Finlandia.
Sekarang
lihatlah Indonesia!!, Indonesia merupakan negara terkaya di Asia Tenggara
bahkan di dunia. Kekayaan SDA Indonesia yang melimpah ruah tak dapat ditandingi
oleh negara manapun. Selain itu, Indonesia memiliki kuantitas SDM yang
berkualitas, baik secara intelektual maupun spiritual. Sebenarnya, kedua sumber
daya itu berpotensi untuk memajukan negara. Sayangnya, satu hal yang belum
dimiliki negara berlambang Garuda ini adalah para pemimpin yang mampu
mengkolaborasikan SDA dan SDM dalam memajukan negara. Yang ada saat ini adalah
mereka menjarah aset negara dengan jalan korupsi wa akhwatuha. Terbukti sejak
2004-2013 KPK telah menangani 65 wakil rakyat (anggota DPR) yang terlibat
korupsi. Dan, tidak heran ketika masyarakat Asia Tenggara menyebut anggota DPR
RI paling jago korupsi.
Lagi-lagi,
SDM tidak mendapat tempat di hatinya. Mereka hanya memprioritaskan kepentingan
pribadi, keluarga, dan koleganya daripada kepentingan rakyat bersama.
Akibatnya, rakyat harus rela menelan pil pahit kehidupan: kemiskinan, kebodohan,
dan keterbelakangan. Oleh karena itu, untuk menyongsong kemajuan negara di
masa depan, minimalnya tahun 2014-2019, diperlukan para pemimpin berkualitas
dan berintegritas. Para pemimpin berkualitas adalah mereka cerdas secara
intelektual, spiritual, dan moral. Dengan ungkapan lain, mereka memiliki label
“Amanah, Shidik, Fathanah, dan Tablig”. Sudah dipastikan para pemimpin
berlabel “ASFATA” akan memenej negara dengan ilmu berpayung moralitas dan
spiritualitas. Juga, mereka tidak memilih kepentingan pribadinya semata
(egois), tetapi lebih memilih kepentingan rakyat dengan mengoptimalkan segala
potensi yang ada. Disadari atau tidak, jika egoisme bercokol dalam jiwa para
pemimpin, maka orientasi kepemimpinannya adalah hidup materialis dan hedonis.
Bahaya
sekali manakala hidup materialis dan hedonis para pemimpin sudah menjadi nomor
wahid, kesejahteraan kolektif yang diamanatkan UUD 1945 pasal 34 ayat 2
pasca amandemen, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan” hanya menjadi retorika belaka. Selanjutnya,
pemimpin ideal adalah pemimpin berintegritas. Mereka memiliki track record yang
bagus dan bersih, tidak pernah melakukan korupsi, tidak pernah membela dan
melindungi “para tikus berdasi nan apati”, berani, komitmen, dan
konsisten memberantas korupsi dan pelakunya, serta tidak menempatkan dirinya di
bawah kepentingan ekonomi (finansial) dan politik (kekuasaan).
Diakui
atau tidak, pemimpin berkulitas dan berintegritas akan mencintai dan dicintai
rakyat. Menarik untuk mencermati hadis Nabi yang diriwayatkan Muslim, Nabi
bersabda: “Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai
kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untukmu. Seburuk-buruk
pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu laknati
mereka dan mereka melaknati kamu”. Hadis di atas menegaskan bahwa para
pemimpin yang ideal adalah mereka yang memiliki hubungan baik dengan rakyat.
Mereka selalu berpikir untuk kesejahteraan rakyat, bangsa, dan negaranya tidak
untuk kesejahteraan pribadi dan koleganya. Terkait dengan pemimpin yang egois,
Nabi bersabda: “Siapa yang memimpin, sedangkan ia tidak memerhatikan
urusan kaum Muslim, tidaklah ia termasuk dalam golongan mereka” (HR.
al-Bukhari).
Pemimpin
yang mencintai dan dicintai rakyat mengindikasikan bahwa pemimpin tetaplah
pelayan bagi rakyat. Menjadi pelayan rakyat bukan berarti martabatnya ternodai
atau terinjak-injak, tetapi menjadi sebuah kekuatan dalam mengkonstruksi aneka
sendi kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum, pendidikan dsb. Sehingga
terdapat sinergitas dan solidaritas antara pemimpin dan rakyat dalam menyongsong
kemajuan negara. Bersama asa dan optimis, di tahun politik 2014 rakyat rindu
pemimpin ideal. Sekali lagi, pemimpin yang memenej masyarakat dan bangsa untuk
memajukan negara bukan untuk korupsi,si,si.
The
last I say, apabila para pemimpin generasi 2014
tetap saja berjiwa korup dan bermental busuk, rakyat harus kembali puas menetap
di “Negara Koruptor”. Pada akhirnya, kemajuan negara hanya ada dalam
imajinasi.