“ilmu adalah anugrah yang sangat sulit untuk didapat. Tapi dengan niat bersungguh-sungguh
dan hanya Mengharap Ridho Allah. Niscaya ilmu itu laksana Pedang yang dengan
mudah menghunus setiap hati Para pencarinya”.
Abu Bakar Asy-Syibli Adalah seorang Ulama yang banyak
menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama
besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan
kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah
dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus
sufisme yang mendalam. Tak mengherankan jika kehidupannya yang unik memberikan
inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.
Nama
aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibli. Nama Asy-Syibli dinisbatkan
kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia
dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup
terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan
berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas.
Di
Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam
sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan. Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi
digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau
dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau jual lah kepadaku
sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.
Maka Junaid pun menjawab:
“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup
membelinya, jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma engkau tidak akan menyadari betapa tinggi
nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan,
apabila engkau dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan
mutiaramu sendiri.” Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus
kulakukan sekarang?” Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang
selama setahun.”
Maka
Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad
dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali
kepada Junaid. Maka Junaidpun Berkata:
“Sekarang sadarilah nilaimu !!, Kamu tidak
ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan
janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara,
dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah
ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau
rugikan.”
Maka
ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk
menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya
masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata,
“Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan
kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid.
Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah
selama setahun!” Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah
sang guru. “Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada
Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada
malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli. Setahun kemudian
Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu
syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”
Setelah
ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai Abu Bakar,
bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Asy-Syibli pun
berkata, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara
semua makhluk Allah.” Junaid
menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya di
mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan
mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah
keyakinanmu.”
By:
Dhen NJhun